Sore itu, hujan turun lagi.
Aku memarkirkan motor di depan warung kecil yang biasa kami datangi. Warungnya masih sama. Meja kayu di sudut jendela itu masih ada. Bahkan bangku yang selalu dia duduki masih tetap miring satu kaki, seperti dulu.
Tapi dia tidak di sana.
Sudah lama dia tidak di sana.
Padahal dulu, aku selalu datang terlambat. Selalu membuatnya menunggu di meja itu, dengan gelas teh manis yang sudah setengah dingin. Tapi dia tetap tersenyum setiap kali aku datang. Senyum sederhana, tapi selalu berhasil menghapus semua lelahku.
Sekarang, tempat itu hanya jadi warung biasa.
Tanpa senyumnya, tanpa kehadirannya semuanya terasa kosong.
Aku duduk sebentar di bangku itu. Meletakkan laptop di atas meja. Menatap ke luar jendela yang berkabut oleh embun hujan.
Kadang aku bertanya-tanya…
Apa rasanya jadi seseorang yang tidak lagi ditunggu?
Apa rasanya tahu bahwa tempat yang dulu dibangun bersama, perlahan-lahan jadi tempat yang tidak lagi ingin didatangi?
Dan hari itu, aku merasakannya sepenuhnya.
Bukan karena dia sudah bersama orang lain.
Bukan karena dia sudah benar-benar pergi jauh.
Tapi karena aku tahu, di dalam hatinya tidak ada tempat lagi untukku.
“Bang, pesan seperti biasa ya,” kataku pada penjual warung.
Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil. “Sendiri aja, Bang?”
Aku mengangguk.
Dan dalam diam, aku sadar… warung ini menyimpan lebih banyak kenangan dibanding rumahku sendiri.
Hujan belum juga reda. Tapi rasanya, aku ingin tetap di sini.
Karena mungkin…
Kadang yang kita rindukan bukan hanya orangnya.
Tapi kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu terasa remeh tapi sekarang terasa mahal.
Tertawa karena hal sepele.
Tangan yang tiba-tiba menggenggam.
Suara yang menyebut nama kita tanpa beban.
Sekarang, semua itu jadi kenangan.
Dan kenangan, seperti hujan sore ini tidak bisa dihentikan.
Kita hanya bisa menunggu… sampai reda dengan sendirinya.
0 comments:
Posting Komentar