Hari itu biasa saja. Langit mendung seperti biasa, pulang dengan kondisi jalan yang macet seperti biasa, kopi di warung pinggir jalan tetap pahit tanpa gula. Tapi entah kenapa, sejak pagi ini, ada rasa aneh di dadaku. Seperti udara yang biasa aku hirup mendadak terasa kosong. Ada sesuatu yang tidak lengkap. Dan aku tahu apa itu.
......
Ada satu momen yang tidak pernah aku lupakan. Bukan karena itu momen paling indah, tapi karena itu momen yang menandai akhir dari segalanya. Dan dengan satu kalimat itu, semuanya jadi sunyi. Suara motor di luar rumah, bahkan detak jam dinding—semua seperti ikut berhenti.
Aku tidak mengejarnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena tahu: bahwa itu tidak dipaksakan untuk tinggal. Kadang, dia memang harus pergi… dan tetap harus pergi.
Sejak hari itu, aku sering memikirkan bagaimana caranya melupakan seseorang yang dulu pernah jadi bagian. Tapi ternyata jawabannya bukan pada lupa. Melainkan.....
Jawabannya ada pada penerimaan.
Menerima bahwa tidak semua hal yang harus kita miliki.
Menerima bahwa dia adalah lagu indah… yang hanya bisa aku dengar dari jauh.
Menerima bahwa tidak semua "kita" ditakdirkan jadi "selamanya".
Dia mungkin tidak akan pernah bersamaku lagi.
Tapi dengan doa… akan selalu bersamanya.
Tanpa perlu dia tahu. Tanpa perlu dia membalas. Tanpa perlu lagi saling memiliki.
0 comments:
Posting Komentar