Acara makrab pertama dan keseruan-keseruan lainnya

http://rahman28-28.blogspot.com

Entahlah

http://rahman28-28.blogspot.com

Entahlah

http://rahman28-28.blogspot.com/

Kisah semasa SMA

http://rahman28-28.blogspot.com/

Entahlah

http://rahman28-28.blogspot.com/

Hi...WELCOME TO MY SITE ^^, GREAT ARTICLE HERE !!! FOLLOW AND JOIN MY SITE ^ ^

Sabtu, 21 Juni 2025

Ayah, Tetaplah Bersama Kami

Ayah…

Hari ini aku melihat tubuhmu terbaring lemah adalah hal paling sulit yang pernah aku saksikan.
Dulu, tangan itu yang paling sering menggendongku,
Langkah itu yang paling sering kutiru saat belajar berdiri.
Sekarang, tangan itu lebih sering menahan sakit tapi tak pernah menahan senyummu untuk kami.

Ini kali kedua aku menangisi mu, bukan karena ocehan mu yang selalu membuat ku menangis, tapi ini karena kondisi ayah. Yang terbaring lemas dan pucat. Kau yang selalu mengajari ku hidup sederhana, berpenampilan sederhana. Bahkan waktu SMP ayah yang mengatarkan ku dengan motor lamanya, sehingga teman2x ku mengejek ku. Karena motor ayah.

Saat itu aku merasa malu sekali, padahal ayah memiliki banyak aset. Padahal ayah bisa membelikan motor baru untuk ayah saya sendiri. Hingga setelah dewasa aku tersadar, bahwa kendaraan yang selalu ayah banggakan dengan motor lamanya itu. Itu tidak lain dan tidak bukan karena kau tidak ingin memamerkan harta mu. Tapi ayah yang mengajarkan ku, untuk hidup sederhana..

Saat ini melihat kondisi ayah
Aku tahu, Ayah lelah.
Transfusi demi transfusi, rasa mual, pusing, dingin…
Tapi Ayah tetap memaksakan diri untuk membuka mata saat kami datang.

Itu cukup buat kami tahu, bahwa Ayah masih ingin bersama.

Ayah, tetaplah berjuang.
Bukan karena kami ingin menahanmu di dunia,
Tapi karena kami belum sanggup berjalan sejauh ini tanpamu.

Aku mencintaimu, Ayah.
Dan di setiap doa, namamu selalu kusebut

Rabu, 11 Juni 2025

Kalau Bukan Kamu, Siapa Lagi?

Pagi itu, Dia membuka matanya lebih lambat dari biasanya. Kepalanya berat, tubuhnya lelah, dan matanya masih menyimpan sisa mimpi buruk, beban kerja yang berat, membuatnya lelah akan semuanya. Karena tekanan dan keadaan yang memaksa. Apakah dia mampu bertahan?
....
Mungkin hanya menunggu waktu yang tersisa, sampai pada akhirnya waktu yang akan menjawab..

Menghela napas panjang. Lalu berdiri. Menyalakan air untuk membasuh muka, seperti mesin yang tahu harus bekerja bahkan sebelum ada perintah.

Hari-harinya seperti gulungan benang kusut yang tak selesai diurai. Selalu ada masalah yang dihadapi, tapi ia mencoba untuk tegar, untuk tidak menceritakan ke siapa pun masalah yang ia hadapi, terlebih. Jika sudah mendekati akhir bulan. Banyak target yang harus ia capai.

bukan tidak bisa menolak. Tapi ada suara kecil di dalam hatinya yang berkata:

"Kalau bukan kamu, siapa lagi?"

Jam istirahat hanya ilusi. Bahkan makan siang sering ia lakukan sambil membalas pesan dan satu rutinitas yang dia jaga.
Karena di waktu-waktu tertentu, dia lewat. Langkahnya ringan, tatapannya seperti langit sore: tenang, dalam, dan selalu menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

...................................................

Malam harinya, setelah semua orang pulang, aku yang masih duduk sendiri di depan layar laptop menyala, dan dinginnya angin malam menyelinap dari sela-sela pintu yang tak tertutup rapat.

Lalu membuka satu catatan pribadi. Dan menulis:

Ia menutup laptopnya. Menatap langit malam.

"Besok akan tetap berat. Tapi setidaknya aku masih bisa melihatnya."

Selasa, 10 Juni 2025

Bab II Tempat Yang Tidak Lagi Dituju

Sore itu, hujan turun lagi.

Aku memarkirkan motor di depan warung kecil yang biasa kami datangi. Warungnya masih sama. Meja kayu di sudut jendela itu masih ada. Bahkan bangku yang selalu dia duduki masih tetap miring satu kaki, seperti dulu.

Tapi dia tidak di sana.

Sudah lama dia tidak di sana.

Padahal dulu, aku selalu datang terlambat. Selalu membuatnya menunggu di meja itu, dengan gelas teh manis yang sudah setengah dingin. Tapi dia tetap tersenyum setiap kali aku datang. Senyum sederhana, tapi selalu berhasil menghapus semua lelahku.

Sekarang, tempat itu hanya jadi warung biasa.
Tanpa senyumnya, tanpa kehadirannya semuanya terasa kosong.


Aku duduk sebentar di bangku itu. Meletakkan laptop di atas meja. Menatap ke luar jendela yang berkabut oleh embun hujan.

Kadang aku bertanya-tanya…
Apa rasanya jadi seseorang yang tidak lagi ditunggu?
Apa rasanya tahu bahwa tempat yang dulu dibangun bersama, perlahan-lahan jadi tempat yang tidak lagi ingin didatangi?

Dan hari itu, aku merasakannya sepenuhnya.

Bukan karena dia sudah bersama orang lain.
Bukan karena dia sudah benar-benar pergi jauh.
Tapi karena aku tahu, di dalam hatinya tidak ada tempat lagi untukku.


“Bang, pesan seperti biasa ya,” kataku pada penjual warung.

Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil. “Sendiri aja, Bang?”

Aku mengangguk.
Dan dalam diam, aku sadar… warung ini menyimpan lebih banyak kenangan dibanding rumahku sendiri.


Hujan belum juga reda. Tapi rasanya, aku ingin tetap di sini.

Karena mungkin…
Kadang yang kita rindukan bukan hanya orangnya.
Tapi kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu terasa remeh tapi sekarang terasa mahal.

Tertawa karena hal sepele.
Tangan yang tiba-tiba menggenggam.
Suara yang menyebut nama kita tanpa beban.

Sekarang, semua itu jadi kenangan.
Dan kenangan, seperti hujan sore ini tidak bisa dihentikan.
Kita hanya bisa menunggu… sampai reda dengan sendirinya.

Senin, 09 Juni 2025

BAB I Seperti Ada Yang Hilang Dari Udara


Hari itu biasa saja. Langit mendung seperti biasa, pulang dengan kondisi jalan yang macet seperti biasa, kopi di warung pinggir jalan tetap pahit tanpa gula. Tapi entah kenapa, sejak pagi ini, ada rasa aneh di dadaku. Seperti udara yang biasa aku hirup mendadak terasa kosong. Ada sesuatu yang tidak lengkap. Dan aku tahu apa itu.
......
Ada satu momen yang tidak pernah aku lupakan. Bukan karena itu momen paling indah, tapi karena itu momen yang menandai akhir dari segalanya. Dan dengan satu kalimat itu, semuanya jadi sunyi. Suara motor di luar rumah, bahkan detak jam dinding—semua seperti ikut berhenti.

Aku tidak mengejarnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena tahu: bahwa itu tidak dipaksakan untuk tinggal. Kadang, dia memang harus pergi… dan tetap harus pergi.


Sejak hari itu, aku sering memikirkan bagaimana caranya melupakan seseorang yang dulu pernah jadi bagian. Tapi ternyata jawabannya bukan pada lupa. Melainkan.....

Jawabannya ada pada penerimaan.

Menerima bahwa tidak semua hal yang harus kita miliki.
Menerima bahwa dia adalah lagu indah… yang hanya bisa aku dengar dari jauh.
Menerima bahwa tidak semua "kita" ditakdirkan jadi "selamanya".

Dia mungkin tidak akan pernah bersamaku lagi.
Tapi dengan doa… akan selalu bersamanya.
Tanpa perlu dia tahu. Tanpa perlu dia membalas. Tanpa perlu lagi saling memiliki.

Kamis, 05 Juni 2025

Kau Tersenyum, Aku Terdiam

Di balik senyummu yang tenang itu,

ada dunia yang sudah bukan milikku.

Kau berdiri gagah di hadapan harapan-harapanmu,

dan aku hanya bayangan yang tertinggal di belakang waktu.



Aku tak pernah menyesal mengenalmu.

Kau yang sederhana dalam gaya,

tapi dalam diamnya, punya dunia yang penuh makna.

Warna-warna di jilbabmu seperti harapan yang tak bisa kupeluk,

dan tawa ringanmu… adalah doa yang tak pernah dijawab.


Aku tahu, kau telah memilih arah.

Ada tangan lain yang kini menggenggam langkahmu.

Tapi bagaimana mungkin hati bisa berkompromi,

jika setiap detik melihatmu justru menambah rindu yang tak tahu malu?


Aku tak ingin merebutmu.

Aku hanya ingin kau tahu:

di dunia yang luas ini,

ada seseorang yang pernah (dan mungkin akan selalu)

menyimpanmu dalam diam,

tanpa menuntut, tanpa mengusik.


Kau milik orang lain,

tapi kenangan tentangmu adalah milik hatiku sendiri.

Dalam Doa yang Tak Bernama

Aku tahu kau bukan milikku,

dan hatimu telah memilih jalan yang lain.

Namun di setiap sujud yang paling sunyi,

namamu sering singgah tanpa izin.



Aku tak meminta Allah membawamu padaku,

aku hanya mohon agar rasa ini tidak menjauhkan aku dari-Nya.

Karena cinta sejati,

adalah saat aku merelakanmu… sambil tetap mendoakanmu dalam diam

Kamis, 10 April 2025

Antara Rasa dan Kewajiban

Aku menatapnya dari kejauhan, mencoba mengabaikan debaran yang tak seharusnya ada. Dia tertawa-ringan, bebas, seperti angin yang berlarian di padang ilalang. Cahaya sore memantulkan kilau lembut di matanya, dan untuk sesaat, aku lupa segalanya.

Tapi dunia ini tak sesederhana itu.

Ketika dia mendekat, suaranya lembut seperti alunan lagu lama yang hampir kulupakan. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, mungkin menyadari ada pergolakan di dalam dadaku.

Aku tersenyum. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang menyembunyikan begitu banyak hal.

"Aku baik," jawabku.

Dan aku memang harus baik. Karena meski hatiku berbisik bahwa aku menginginkannya, ada janji yang sudah lebih dulu kuikatkan pada seseorang.

Aku mengambil napas dalam-dalam, menenangkan diri. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, aku berkata, "Aku menyukaimu, tapi... aku tidak bisa."

Dia terdiam, hanya menatapku dengan mata yang penuh pengertian. Angin sore berhembus di antara kami, membawa pergi kata-kata yang tak pernah terucap, perasaan yang tak pernah bisa dimiliki.

Kadang, cinta bukan tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang melepaskan, bahkan sebelum menggenggamnya.

#Bulan

DO LEAVE A COMMENT, THANK YOU FOR VISITING.. HAVE NICE DAY ^ ^